Surat pembaca di Jakarta Post ini menarik "Among a number of simple and powerful changes available today, the one I wish to recommend is that prayers be conducted in the Indonesian language throughout the country."
Gagasannya adalah dengan mengganti bahasa Arab dengan bahasa Indonesia maka orang akan lebih menjalankan perintah Tuhan karena dia tidak melupakan apa yang dia ucapkan di dalam sholat. Dengan kata lain, sholat sebagai pengingat orang untuk berbuat baik.
Saya tak ingin membantah dari segi doktrin; hal itu bukan hal yang mustahil karena selama orang tidak bisa berbahasa Arab orang bisa menggunakan bahasa lokalnya--Fiqh sudah membahas ini sejak zaman Abu Hanifah di abad pertama hijriyyah.
Argumen mengganti bahasa Arab dengan bahasa lokal demi menjalankan fungsi sholat tidak valid justru karena fakta sederhana saja: di dunia Arab, yang orangnya berbahasa Arab, orang tidak menjadi lebih baik karena dia mengerti apa yang dia ucapkan dalam sholat. Kalau kita ditanya siapakah yang Islamnya lebih baik, umat Islam di Indonesia atau umat Islam di dunia Arab? Maka jawaban kita tak akan tergantung dengan keberhasa-araban.
Sholat adalah kegiatan ritual, pengisi ruang rohani. Apakah kita mengerti atau tidak atas apa yang diucapkan, kualitas proses ritual itu sangat ditentukan oleh batin kita sendiri, mau "nyambung" dengan tuhan atau tidak. Dalam ritual semacam itu, bahasa Arab bisa menjadi bahasa "magic", bahasa mantra, yang memuat misteri dan menyambungkan duni fisik kita dengan dunia ghaib.
Mengerti bahasa Arab pun, ruang makna yang disediakan oleh bahasa ritual bukan ruang makna literal, tetapi ruang makna simbolik yang kedalaman simbolnya tergantung kepada si pengucap itu sendiri. Bahasa sholat adalah bahasa Arab puitis. Sama seperti kita membaca puisi, maka makna yang diperoleh oleh A dari membaca "Aku"-nya Chairil Anwar akan berbeda dengan si B yang membaca puisi yang sama.
Lalu, dia juga menyebutkan hal ini: "I think that while the Indonesian faithful persist in praying in Arabic, they will (a) persist in easily forgetting to carry out the injunctions of prayer in daily life; and (b) persist in spending a huge amount of time studying Arabic for little real reason, especially during childhood and their teenage years, while they could be studying something else."
Tidak ada jaminan bahwa ketika anak-anak tidak pergi ke TPA untuk belajar mengaji mereka akan melakukan aktifitas lain yang lebh baik. Swear, anak-anak di tempat saya berasal, yang sekolah ke madrasah tsanawiyah yang beban studi umum dan agamanya lebih besar daripada yang mereka pergi ke SMP are not necessairily worse. Anak-anak yang pergi ke madrasah, terbiasa dengan beban ganda, lebih bisa mengatur waktu daripada anak-anak yang sekolah ke SD.
Saya sendiri punya pegalaman pribadi. Kalau pas lagi libur, saya lebih tidak produktif daripada saat musim kuliah. Sebab saat libur, merasa tidak ada beban dan target, kita tak "ditekan" untuk megatur waktu secara efisien. Dalam masa kuliah, kita bisa melakukan banyak hal karena kita "dipaksa" mengatur waktu dengan baik. Dalam istilah bapak olimpiade fisika, Johanes Surya, dalam kondisi yang tertekan dan kritis, terciptalah hukum "mestakung" (semesta mendukung; baca buku barunya): partikel-partikel atom di sekitar kita menciptakan kondisi luar biasa yang membuat seseorang bisa melompat lebih tinggi daripada biasanya, belajar lebih keras daripada biasanya.
So, he just missed many points. It is not about anything he talks, it's about ourselves.
Lebih lengkapnya:
The Jakarta Post - Islam should change prayers standard prayers
My comment is about the practice of Islam in Indonesia and what I perceive as a potential improvement to it.
I have not written to this paper before and I'm not an active writer or a political person. But now I feel like saying something.
I am a God-fearing Muslim. I claim to have completely submitted my body, mind, soul and wealth to God.
The success of Indonesia's Islamic community to carry out the religion is really a matter for God to judge, not me.
I am grateful to God that the scriptures and historical notes of Islam are available with translations here. Theoretically speaking, Indonesians can be saved if they want to be.
However, Indonesia's Islamic community is not carrying out God's commands in the most efficient way possible. Among a number of simple and powerful changes available today, the one I wish to recommend is that prayers be conducted in the Indonesian language throughout the country.
I hope that this change will occur in due course, though only God knows if that will happen. I think that it would really help things if it did.
This proposal would immediately lift up Indonesia as a country. It is also in accordance with the will of God. Verse 4, chapter 14 of the Koran, among other verses, explain God's will is to provide mankind with guidance through revelation.
My argument is that effectiveness and efficiency are godly, especially when it comes to communication.
Objectors may suggest that maintaining the purity of the scriptures is also godly, and I would agree with them.
However, to keep a scripture pure, you need only good religious clergy, a library, and some scholars in major and regional cities who would maintain knowledge of classical Arabic and other liturgical matters.
I think that while the Indonesian faithful persist in praying in Arabic, they will (a) persist in easily forgetting to carry out the injunctions of prayer in daily life; and (b) persist in spending a huge amount of time studying Arabic for little real reason, especially during childhood and their teenage years, while they could be studying something else.
I think the major religions are all quite capable of doing great things for mankind, and for the communities and nations that follow their doctrines.
SEBASTIAN REEDBogor, West Java
Posting Komentar