Faktor Pemicu Kebenian terhadap Amerika


Bush belum datang, tetapi demonstrasi menentang Bush sudah marak di berbagai kota, termasuk mereka yang memaksa masuk dan berunjuk rasa di Kebun Raya Bogor. Karena unjuk rasa itu sering diwarnai dengan aksi pembakaran bendera Amerika, orang [Amerika terutama] lalu menafsirkan demo-demo itu sebagi ekspresi dari anti-Amerikanisme. Orang-orang Amerika yang lugu pun lantas geleng kepala keheranan, "Why they hate us (mengapa mereka membenci kami)?" Pertanyaan yang pernah sangat populer di Amerika ketika teroris menyerang dan merobohkan menara kembar WTC pada tahun 2001.

Bush sendiri dalam pidatonya sering mengekploitasi ekpresi kebencian itu sebagai kebencian terhadap kemakmuran, kebebasan, dan kekuatan Amerika. "Ah, mereka itu ngiri saja sama kita," kata Bush di berbagai kesempatan.

Bush factor
Mungkin Bush benar bila yang dimaksud dengan 'mereka' adalah Usamah bin Ladin. Usamah memang bukan tipe pembela demokrasi dan liberalisme Amerika. Tetapi yang gagal ditangkap oleh pernyataan itu adalah kebencian itu sendiri bukan karena Amerika dan tidak kepada Amerika. Kebencian itu adalah karena Presiden Bush sendiri, alias Bush factor in anti-Americanism.

Menurut survei di Jerman tahun 2004, ketika berlangsung pemilu presiden Amerika yang mempertarungkan Bush dan John Kerry dari Partai Demokrat, 80 persen orang Jerman lebih memilih Kerry daripada Bush. Kerry bahkan 'menang telak' di Prancis dengan hanya menyisakan 5 persen saja untuk Bush. Satu periode kepresiden saja saat itu sudah cukup membuat komunitas internasional, termasuk sekutu Bush di Eropa, untuk menolaknya.

Menurut survei lembaga terkemuka di Amerika, The PEW Global Attitudes Project, selama masa enam tahun kepemimpinan Bush dukungan internasional terhadap Amerika merosot sangat tajam. Di Inggris, angka dukungan turun dari 83 persen di tahun 1999 ke 56 persen di tahun 2006. Sementara di Prancis, angka dukungan merosot dari 62 persen ke 39 persen. Sementara di Indonesia, angka dukungan anjlok dari 77 persen di tahun 2000 menjadi 30 persen pada tahun ini.

Lebih penting lagi adalah data yang diperoleh PEW dari survei berbeda di tahun 2003. Survei yang menelisik sumber anti-Amerikanisme ini menemukan bahwa, di Prancis, misalnya, sumber anti-Amerikanisme itu adalah Bush (74 persen) dan hanya 21 persen yang menyatakan Amerika sendiri sebagai sumber masalah. Di Indonesia, pada tahun yang sama, 69 persen menilai Bush sebagai sumber masalah. Jadi, perlu dicatat bahwa walaupun bendera Amerika yang dibakar dan kedubes Amerika yang dikepung, ketidakpuasan dan 'kebencian' itu, jika memang ada, sebenarnya ditujukan lebih kepada Bush daripada kepada Amerika sendiri.

Anti-Bushisme, istilah yang saya usulkan untuk mengganti anti-Amerikanisme, di Indonesia juga menyebar rata dari kalangan fundamentalis Muslim sampai dengan yang moderat. Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, misalnya, sempat marah-marah terhadap kebijakan luar negeri Bush saat Perang Israel-Lebanon yang lalu.

Bahkan, Muslim paling liberal pun juga tidak bisa menerima kebijakan luar negeri Amerika. Saya masih ingat bagaimana Ulil-Abshar Abdalla secara emosional, dengan kata-kata yang sangat tajam, mengungkapkan kekecewaannya di sebuah harian nasional dan di website Jaringan Islam Liberal. Ulil yang mengagumi Amerika sebagai 'peradaban' tak bisa memahami kebijakan Timur Tengah Amerika yang 'biadab' --secara membabi buta memihak Israel dan membiarkan warga Lebanon dibombardir dan kotanya diratakan dengan tanah.

Mengubah Kebijakan?
Adakah perubahan kebijakan luar negeri yang bisa kita harapkan dari kedatangan Presiden Bush ke Indonesia ini? Kalau umat Islam ingin melihat perubahan kebijakan luar negeri Amerika, mestinya bukan Presiden Bush yang kita jamu di Istana Bogor saat dia datang, melainkan Nancy Pelosi, calon ketua DPR-nya Amerika (House of Representative) yang baru.

Kekuasaan DPR Amerika dalam menentukan anggaran, membuat komisi pengawasan kebijakan, dan komisi penyelidik bisa mengerem kebijakan luar negeri Bush yang ekpspansionis. Sementara Bush sendiri, walaupun saya berharap bisa berubah karena tekanan Kongres yang kini di tangan Partai Demokrat, kelihatannya tak akan banyak berubah.

Ia memang merespons dengan cepat hasil pemilu legislatif yang baru lalu dengan penggantian menteri pertahanan (pemain kunci dalam kebijakan luar negeri Amerika yang militeristik). Tetapi tak ada pengamat politik Amerika yang yakin bahwa perubahan drastis akan terjadi. Dalam buku Bob Woodward yang menghebohkan publik Amerika, State of Denial: Bush at War Part III, disebutkan Bush pernah menyatakan bahwa ia tak akan meninggalkan Irak meskipun hanya tinggal Laura (istrinya) dan Barney (anjingnya), yang memberikan dukungan.

Tentu saja kita menghormati keteguhan hati Mr Bush. Tetapi bila ia lebih mencintai Amerika (yang ikut dibenci komunitas internasional karena kebijakan luar negerinya) daripada Laura dan Barney, tentu kita berharap agar dia mau mengubah kebijakan luar negerinya. Kebun Raya Bogor yang sejuk semoga saja menjernihkan pikirannya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama