Anak Petani ya Baca Trubus, bukan Lupus


Saya hanya tahu Lupus dari film dan sampul buku pelajaran. Tidak pernah baca novelnya, tidak pula menjadi pelanggan majalah Hai apalagi Bobo. Majalah begituan terlalu mahal untuk anak petani. Bacaan saya waktu kecil adalah Majalah Trubus, bacaan wajib bapakku.

Sebagai petani lulusan pondok pesantren, bapakku meningkatkan kapasitas lewat buku dan majalah pertanian. Mayoritas buku di lemari bapak adalah buku-buku yang terkait bagaimana cara beternak bebek, budidaya ikan, penyakit tanaman dan hewan, lalu koleksi majalah Trubus.

Bapak tidak berlangganan secara "berlangganan" tetapi selalu membelinya ketika terbit. Sebulan sekali minimal, saya ikut bapak ke sebuah toko buku di Tulungagung. Saya lupa namanya, tetapi di sebelah masjid dekat alun-alun itu. 

Saya sendiri hanya sesekali membeli buku cerita. Bagi saya, diajak pergi saja sudah senang, tidak menuntut lebih. Saya tahu dari kecil, buku-buku itu terasa mahal dan "tidak berguna". Dibaca sekali, tamat, terus tidak ada gunanya kan? Kalau buku pelajaran, saya selalu komplit belinya. 

Koleksi majalah Trubus bapak cukup lengkap. Bahkan Bapak sempatkan beli bundel majalah Trubus untuk edisi yang sebelum beliau kenal majalah Trubus. Trubus biasanya menerbitkan bundel tahunan begitu.  

Nah saya akhirnya ikut ketagihan membaca Trubus karena di majalah itu ada dua rubrik yang cocok buat anak SD seperti saya: cerita rakyat dan cerita wayang. Saya bisa mengikuti cerita dalam pertunjukan wayang kulit kemudian setelah mahasiswa karena waktu kecil saya baca cerita wayang berseri yang terbit di Trubus.

Kalau ingat Trubus, ingat pula kejengkelan saya. Bundel Majalah Trubus itu dipinjam oleh teman bapak dan tidak dikembalikan. Padahal itu koleksi yang sangat berharga!

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama