"Salah-silah" Disertasi Milk al-Yamin

foto credit: FB Abdul Aziz

Saya sudah berjanji untuk melanjutkan review saya terhadap disertasi pak Abdul Aziz. Sebenarnya saya juga sudah menyiapkan sebuah tulisan untuk saya share di Facebook. Tetapi, saya kemarin Kamis ke IAIN Surakarta dan mendengar perkembangan terakhir di luar disertasi yang memprihatinkan. Di samping bullying melalui meme dan hujatan kaum sok-moralis penjaga surga di medsos kepada Pak Aziz, sasaran teror sudah meluas ke anak istrinya. Menjijikkan sekali!

Di grup WA guru-guru PAI (ya PAI lho!), guru Pendidikan Agama Islam, salah satu ibu guru membagikan meme yang bergambar foto Pak Aziz dan putrinya dengan teks yang tidak pantas. Yang menyedihkan bukan hanya teks di meme itu, tetapi komentar guru PAI, “Nih, anaknya cantik lo… Ada yang mau? Bapaknya sudah membolehkan! Hahaha.” Coba, apa isi otak orang yang mengeluarkan ucapan seperti itu? Disertasinya pun tidak ia baca, meme yang ia share hanya berisi provokasi syahwat, dan ia seorang guru agama?

Secara akademik saya bisa melanjutkan kritik terhadap disertasi itu, meruntuhkan disertasi itu sampai tuntas. Tetapi secara politik, rasanya tidak adil menghakimi disertasi ini di tengah hujatan tidak berkelas dan tidak berperikemanusiaan kepada keluarga Pak Aziz. Saya ingin lebih ‘adil’ untuk berbicara ‘beyond’ akademik. Agar ‘kesalahan’ tidak hanya ditembak ke Pak Aziz.

SALAH KONTROVERSI

Seperti pernah saya saya katakan sebelumnya, sebenarnya yang dihujat orang itu Shahrur atau Pak Aziz? Jika yang dipersoalkan adalah konsep “milk al-yamin” sebagai dasar ‘keabsahan’ (catat baik-baik istilah ‘keabsahan’ ini) seks non-marital, maka salahkan Shahrur! Pak Aziz ini hanya menyajikan pendapat Shahrur. Dan seperti saya bilang, dan disitulah sebenarnya kelemahan disertasi Pak Aziz. Disertasi koq cuma cerita pendapat orang.

Jika Anda kaget mendengar pendapat Syahrur, Anda berarti kurang piknik. Syahrur sudah ngomong soal ini sejak lama, mengapa Anda baru ribut sekarang? Nggak punya akses ke teks Arab? Ngaji yang bener! Nggak kuliah di Islamic Studies? Makanya jangan sok menilai kajian yang bukan ilmu Anda. Nggak tahu Syahrur itu siapa? Lah, Shahrur saja nggak tahu ributnya seperti surga mau runtuh.

SALAH TOPIK?

Ada banyak yang menyalahkan UIN soal topik disertasi ini. Disertasi begini koq lolos?  MUI sampai mengeluarkan pernyataan sikap (saya yakin, tanpa membaca disertasi) yang menyalahkan promotor dan penguji “yang tidak memiliki kepekaan publik”. Dan akhirnya Pascasarjana pun meminta Pak Abdul Aziz tanda tangan surat untuk merevisi judul.

Pertama, mereka yang menyalahkan topik disertasi ini tidak paham, lupa, atau sok etis, bahwa UIN itu universitas, lembaga tri-dharma yang mandatnya mendidik-meneliti-mengabdi. Apa yang salah dari meneliti Syahrur secara akademik? Tidak ada sama sekali. Syahrur ini menulis banyak buku dalam tema Islamic Studies, tulisannya dibaca para mahasiswa dan dosen. Bukunya al-Kitab wa al-Qur’an sudah kami fotokopi ramai-ramai pada tanggal 1 Desember 1999 untuk bahan diskusi di kelas S2.

Kedua, topik milk al-yamin tidak pantas? Apa yang tidak pantas? Daripada meneliti Nur Sugik atau Koh Felix, jelas lebih keren meneliti Syahrur. S3 koq meneliti pisuhan Sugi dan asongan khilafah Felix. Penelitian disertasi ini (seperti saya tulis sebelumnya) sudah memenuhi seluruh unsur minimal akademik sebagai sebuah penelitian. Demikian juga tidak ada yang dilanggar secara etis sebagai penelitian. Kalau keresahan masyarakat (seperti kata MUI itu) jadi ukuran boleh tidaknya penelitian, lha kapan orang mau nulis disertasi? You know, MUI sendiri sering juga bikin fatwa yang meresahkan masyarakat. Fatwa tentang Syiah di Madura, misalnya, jadi bensin kerusuhan intra religius (https://www.liputan6.com/news/read/4046654/26-agustus-2012-lebaran-berdarah-warga-syiah-di-sampang-madura).

Ketiga, topik Milk al-Yamin sudah dibahas secara akademik. Kalau Anda baca disertasi Abdul Aziz, ia sisir diskusi ini dalam berbagai level dan tradisi. Faktanya, Qur’an menghalalkan dua jenis hubungan seks. Nikah dan Milk al-Yamin. Soal nikah itu apa, syarat dan rukunya apa, ada ruang diskusinya. Demikian juga soal Milk al-Yamin itu apa dan bagaimana. Ada ruang diskusinya. Setahu saya, yang kaget soal milk al-yamin ya kebanyakan nggak tuntas atau nggak pernah belajar Fikih. Yang pernah belajar Fikih, ya santai saja. Bahwa konsep itu ditafsir-ulang oleh Syahrur sebagai jalan untuk ‘mengesahkan’ seks non-marital, itu hanya soal setuju dan tidak setuju. Bantah saja Syahrur dengan argumen akademik.

Jadi, mengapa Pascasarjana memaksa lewat surat pernyataan agar Pak Aziz merevisi judul itu? Ini yang menurut saya aneh. Judul itu bukan dari Pak Aziz! Judul yang sekarang kontroversial ini, meskipun tanggung jawab penulis pada akhirnya, adalah usulan dari Sidang Ujian tertutup (lihat Halaman 11 disertasi). Tidak bisa dan tidak perlu Pascasarjana UIN meminta revisi. Judul itu sudah pas dan cocok dengan isinya.

SALAH PAK AZIZ

Kalau saya harus menyebut kesalahan Pak Aziz adalah pada aspek bahwa disertasi ini difungsikan melampaui “fungsi ilmiah”. Sebagai editor jurnal, saya sering menjumpai artikel dan penelitian semisal ini. Begini, maksud saya. Disertasi atau penelitian itu harusnya berhenti pada “mendeskripsikan relasi/korelasi antar variabel yang diteliti”. Dalam bahasa kami para editor, Anda jangan jadi aktivis!
Sebagai penelitian tentang Syahrur, tugas disertasi ini harusnya sebatas menjawab pertanyaan semisal: Syahrur ngomong apa? Mengapa ia mengatakan demikian? Faktor apa yang melatarbelakangi pemikiran/tafsirnya terhadap milk al-yamin? Teori apa yang ia gunakan? Lalu beri kesimpulan agar pembaca paham relasi-korelasi variabel yang ia pilih dalam penelitiannya.

Seperti kebanyakan orang di IAIN, Pak Aziz terjerumus berkhotbah! Lewat disertasinya, ia sedang memperjuangkan (mengkhotbahkan) agar konsep milk al-yamin itu bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah sosial!

Saya sering mendengar orang, khususnya pejabat, bertanya apa kontribusi disertasi ini bagi masalah sosial sekarang? Masalah sosial itu hanya bisa selesai dengan keputusan politik! Tugas disertasi hanya menyajikan data, temuan, penjelasan tentang mengapa masalah sosial itu terjadi. Solusinya ya dirumuskan secara terpisah karena solusi pasti terkait resources sosial yang dimiliki yang tidak dalam jangkauan disertasi.

Misalnya. Penelitian tentang mengapa jalanan di Jogja macet? Tugas peneliti sebatas menemukan faktor-faktor penyumbang kemacetan: jumlah kendaraan, volume jalan, angkutan umum yang tidak berfungsi, dll. Soal bagaimana macet itu mau diselesaikan, ya kembali ke pengambil kebijakan. Kalau ditemukan bahwa penyumbangnya adalah jumlah kendaraan yang naik drastis, ya terserah pemerintah apakah mau melarang sama sekali, membatasi, atau apa pun -- hal-hal yang tidak menjadi bagian dari penelitian tentang mengapa macet!

Pak Azis tidak. Ia menulis disertasinya seperti policy paper untuk dinas lalu lintas! Ia mau menyelesaikan masalah sosial terkait “kemacetan” syahwat dan efek buruknya terhadap pelanggaran hak asasi manusia dengan konsep milk al-yamin. Ia tidak lagi menjadi peneliti, tetapi pengkhotbah! Soal apakah pendapat Syahrur cocok diterapkan di Indonesia itu di luar topik disertasi. Kalau pun mau menjawab itu, maka harus melakukan riset dengan model social experiment, bukan penelitian literer.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama