PROPORSI, REPRESENTASI, DELUSI

Saya sebenarnya sudah tidak berminat menanggapi mereka yang ribut dan teriak curang coreng. Sebab mereka akan terus mengatakannya sampai kapan pun. Tidak peduli apa pun. Sebab mereka sudah mulai teriak itu sejak "permainan" belum dimulai pun. "Hanya kecurangan yang membuat kami kalah," kata mereka dulu. Dulu sekali.
Jadi, saya akan melihat yang lebih besar dari pemilu. Sebutlah namanya "delusi mayoritas!", penyakit paling naif yang menjangkiti sebagian kelompok Muslim Indonesia. Delusi mayoritas ini lebih tua dari delusi kemenangan Prabowo. Saya tidak tahu persis setua apa, tetapi saya teorikan sejak kita bersiap merdeka dan punya MIAI (Madjlisul Islami A'la Islami Indonesia), cikal bakal Masyumi.
Seperti namanya, organisasi ini mengira bisa menjadi organisasi Islam untuk semua orang Islam. Islamnya orang Islam. Di atas NU atau Muhammadiyah yang terlebih dulu lahir. Lebih tinggi dari semuanya (a'la). Karena Muslim itu secara 'proporsi' demografi adalah mayoritas, maka organisasi ini mengira diri sebagai organisasi yang dapat mewakili (representasi) mayoritas demografis. Jangan salah, NU punya andil besar mendirikan MIAI lho.
Sampai di situ, hubungan antara proporsi dan representasi masih tampak normal. Tetapi fakta sejarah politik tidak demikian. Masyumi, jelmaan MIAI, tak pernah memperoleh suara lebih dari 25%. Suara Masyumi tidak cocok dengan proporsi demografi Muslim yang 87% dari total penduduk Indonesia. Pada 1952, NU malah sudah keluar dari Masyumi sebelum mimpi Masyumi untuk menjadi rumah politik semua orang Islam terwujud. Pemilu 1955, suara Masyumi hanya 20.9%, selisih tipis dengan NU di angka 18.4%.
Bukannya menyadarkan, Pemilu 1955 dapat disebut sebagai penanda lahirnya delusi mayoritas di kalangan elit Muslim yang terafiliasi ke Masyumi. Sudah tahu dapat suara cuma 20%, tetapi elit politik Muslim tetap mengklaim sebagai representasi demografi 87%.
Orang NU, dengan langkah keluar dari Masyumi lebih dini, umumnya tidak terjangkiti penyakit ini. Nyaris tidak pernah terdengar klaim representasi Islam mayoritas di kalangan NU. Paling-paling, klaim NU sebagai organisasi Islam terbesar saja. Sebab, sejak 1952 itu elit NU tahu mereka tidak lagi memiliki relasi dengan angka demografi 87%.
 "Delusi mayoritas" ini 'penyakit' yang merusak mental karena menjadikan si elit gagal menyadari relasi proporsi dan representasi. Symptom paling nyata penyakit delusi mayoritas yang mungkin sering Anda dengar adalah istilah "umat Islam". Dikit-dikit, umat Islam.
Sekelompok orang saja berkumpul, lalu menyebut diri "Forum Umat Islam". Segerombolan politisi bikin partai, ngakunya partai umat Islam. Bikin perusahaan media dan menerbitkan koran, bilangnya koran umat Islam. Yang paling parah, bahkan tidak bisa membedakan lagi antara "umat Islam" dengan "Islam." Membela kepentingan perutnya disebut membela Islam.
Mereka yang terjangkit delusi mayoritas ini, sekali lagi, lupa bahwa yang 87% itu adalah semua orang yang beragama-KTP Islam, bukan kelompok dia.
Saya mencoba memahami mereka yang anti Jokowi itu. Mengapa mereka sedemikian benci? Salah satunya tentu karena banyak hoax tentang Jokowi yang mereka percaya, tetapi yang lebih naif adalah anggapan bahwa: rejim ini melakukan kriminalisasi terhadap ulama, rejim ini mencurigai umat Islam, rejim ini melarang pengajian umat, hingga rejim yang anti umat Islam.
Pliiisss deh. Siapa sih ulama yang dikriminalisasikan itu? Qurays Shihab? Gus Mus? Emha Ainun Najib? Haedar Nasir? atau siapa?
Dimana pula ada kasus pengajian dilarang? Kalau ada larangan terhadap pengajian HTI, terus itu sama dengan umat Islam?
Bagaimana mungkin rejim ini anti Islam coba? Anggapalah Jokowi itu orang PDI, abangan, begitu; tetapi Pak JK itu orang NU. Lihat pula daftar menteri-menterinya, apakah ada yang sengaja tidak dipilih karena agamanya?
Oleh sebab itu, kita perlu mencermati penyakit delusi mayoritas ini. Sebab, dalam kasus pemilu, delusi mayoritas ini bisa berakibat fatal. Kesalahan input data di KPU, dibesarkan menjadi kecurangan. Pelanggaran aturan main pemilu di 1200 TPS (0.001 persen) dianggap kecurangan yang massif. Kalau Anda lihat, kegagalan memahami proporsi dan representasi dari angka-angka itu mungkin sumbernya ya delusi mayoritas tadi.
Merasa mayoritas itu juga membuat mereka merasa "benar" Ada Hadits, memang, bahwa tidak mungkin orang berbuat salah kalau mereka berjamaah. la yajtami'u ummati ala dhalalah. Lha masalahnya mereka itu bukan mayoritas, ijtimak mereka bisa saja dhalalah. Tetapi karena delusi mayoritas, segerombolan orang (sebagian mengaku ulama) kumpul dan membuat ijtimak mereka sebut sebagai suara umat Islam. Selalu begitu. Delusional.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama