"Ustadz" dan "Ahli Ilmu"

Akhir-akhir ini, dengan berkembangnya teknologi informasi dan media massa, apa yang menjadi panutan umat, siapa yang didengar umat, mulai bergeser dari definisi-definisi tradisional tentang 'ulama' dan 'kyai'. Jika dulu yang dinamakan kyiai dan menjadi panutan adalah orang tempat kita menimba ilmu dalam ikatan-ikatan keguruan yang amat dekat, sekarang kita mulai menemukan orang-orang yang didengar suaranya, diikuti pendapatnya, karena semata-mata ia oleh media disebut sebagai "ustadz", atau lebih menyedihkannya "dikontrak" dan "diorbitkan" menjadi ustadz. Jika dulu, untuk menjadi kyiai, orang dapat dipastikan belajar dan menguasai ilmu agama dengan baik, sekarang tidak lagi.

Cobalah Anda tengok pentas pemilihan da'i di TV-TV itu. Satu-satunya kualifikasi 'da'i' adalah mereka yang dapat 'ngomong' dan 'menghibur' pemirsa TV. Tidak pernah ada kontes da'i yang menayakan kualifikasi atau sayrat-syarat yang membuat sesoerang pantas 'berbicara tentang agama'. Sebab, yang penting, 'ustazd adalah yang bisa bicara tentang agama', tidak peduli apakah ia berbicara secara membeo (menghafal teks), atau ia berbicara karena memiliki pondasi keilmuan yang kokoh untuk membicarakan apa yang ia bicarakan.

Para ulama dulu di dalam kitab-kitab mereka sudah merusukan banyak syarat untuk menjadi panutan (atau 'imam') ini. Misalnya, menguasai bahasa Arab, menguasai asbab nuzul, mengetahui naskh-mansukh, menguasai ilmu bayan, dan seterusnya, yang dengan kualifikasi itu, seorang ulama akan berbicara tentang agama secara lebih utuh, berdasar, dan sekaligus dapat menjangkau konteks yang lebih luas dari apa yang ia katakan.

Di sinilah mengapa al-Qur'an mewasiatkan agar mereka yang tidak berilmu, selalu bertanya kepada ahlinya.
مَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ [الانبياء:7].
Bertanyalah kepada "ahl dzikr, jika kalian tidak tahu.

Para ahli tafsir mengartikan ayat ini sebagai "Bertanyalah kepada Ahli Taurat, jika kalian tidak tahu" karena turunnya ayat ini terkait ketidakpercayaan orang-orang musyrik atas informasi yang disampaikan Nabi. Tetapi dengan kaidah, al-ibrah bi umum al-lafz, la bi khusus as-sabab", dapat diartikan bahwa orang yang tidak mengerti tidak boleh mengikuti pendapatnya sendiri, melainkan harus bertanya kepada yang tahu, bukan kepada yang juga tidak tahu.

Dalam konteks jaman now, salah satu ciri orang berilmu adalah: tidak menyalahkan orang lain, atau minimal tidak mudah menyalahkan orang lain. Coba perhatikan para ulama panutan seperti prof. Quraisy Shihab yang ilmu Qur'annya sudah setinggi langit; atau Gus Mus yang pemahamannya terhadap kitab kuning sudah nyaris di luar kepala. Nyaris tidak pernah kita mendengar mereka menyalahkan, atau sok mengoreksi orang.

Dalam ilmu Fikih, mereka yang membaca literatur Fikih pasti tahu benar bagaimana di hampir setiap pasal ada pendapat yang berbeda. Maka, orang yang membaca berbagai kitab, yang ahli ilmu, pasti tidak akan menyalahkan orang lain. Jika Anda bertanya kepadanya, ia akan memberi jawaban-jawaban pilihan. Apakah salat subuh harus qunut? Bisa ya, bisa tidak. Apakah salat taraweh harus delapan? bisa ya bisa tidak. Apakah fatihah harus menggunakan basmalah? Bisa ya, bisa tidak. Semua dan masing-masing pendapat ada dalilnya, ada benarnya.

Demikianlah. Jawaban tunggal dan merasa benar sendiri sesungguhnya tidak ada tempatnya dalam agama kita. Semoga kita diberi kesempatan untuk terus belajar dan menemukan berbagai sudut pandang agar kita selalu bisa menghormati orang lain.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama