Ramadan 26: Mbah Kung Mudik

Blitar, September 2014
Dalam hidup ini, hanya satu Mbah Kung yang dapat kukenal. Mbah Kaji Irsyad, orang tua bapakku, sudah meninggal sejak bapak masih muda. Pamanku pun tak sempat mengingat wajah bapaknya.

Karena hanya satu Mbah Kung, kami tidak perlu menambah kata sifat lagi di belakang julukannya. Eh, Mbah Kung juga sudah tidak perlu tambahan kata sifat karena sifat-sifat baiknya selalu kudengar dari orang-orang yang mengenalnya. "Mbahmu ki grapyak semanak, ahli silaturrahim!".

Di jaman belum ada komputer, Mbah Kung mencatat sendiri nama-nama keturunan Bani Nuriman. Aku tidak tahu siapa yang mengetik, tetapi buku daftar keturunan Eyang Nuriman tercatat dengan baik hingga keturunan ketujuh (aku dan segenerasiku). Buku Bani Nuriman diperbarui, diperbanyak dan disebarkan Mbah Kung setiap menjelang haul. Dari buku nasab dan cerita-cerita Mbah Kung, kami tahu asal-usul eyang kami: seorang Prajurit Diponegoro, yang lari ke wilayah Kediri dan berasal dari Bagelen Purworejo.

Sampai kira-kira 5-7 tahun lalu, Mbah Kung sudah menjadi orang tertua di keluarga Bani Nuriman. Dan sampai pada saat itu, beliau tak pernah lelah merekat tali silaturrahim anak turun eyang Nuriman. Saat khaul tiba, kami selalu merasa malu bila tidak menyempatkan datang karena gigihnya Mbah Kung ngopeni keluarga besar kami.

Kusebut 5-7 tahun terakhir karena kondisi kesehatan Mbah Kung sudah tidak memungkinkan lagi untuk melakukan mobilitas silaturahim sesudahnya. Bulan September tahun lalu, ibukku pulang dari haji. Penjemputan rombongan jamaah haji di Srengat, Blitar hingga larut malam. Dari Srengat kami tidak langsung pulang ke rumah. "Sowan Mbah Kung dulu," kata ibuk. Tentu saja. Tidak ada orang yang lebih penting untuk ditemui sepulang haji selain orang tuanya.

Mbah Kung tinggal sendiri. Saat kami tiba di rumahnya malam itu, Mbah Kung sudah tertidur. Tetapi ketokan pintu masih bisa membangunkannya. "Ya..., tunggunen." Jawab beliau lemah. Satu, dua, tiga, hingga lima menit mbah Kung belum tampak keluar. Aku resah. Kuintip dari kaca depan, belum ada tanda-tanda mbah Kung muncul. Baru sepuluh menit kemudian beliau tampak tertatih. Dengan tongkatnya, Mbah Kung berjalan setapak demi setapak. "Sudah lemah sekali..." gumamku dalam hati.

"Aku ki ra iso langsung mlaku..." katanya. Mbah Kung butuh waktu hampir lima menit hanya untuk bangkit dari pembaringan, duduk, dan menunggu semua darah mengalir di kakinya untuk kemudian bisa digerakkan dan berdiri.

Karena kondisinya yang lemah, Mbah Kung sempat dipindah ke rumah orang tuaku. Tiga bulan lalu, Maret, saat pulang ke Blitar aku sempat ngobrol dengan beliau. "Aku iki dudu menungso..." katanya. "Manusia itu pergi dari satu tempat ke tempat lain. Aku ki mung iso turu. Manusia itu berbicara dan serawung. Aku ki mung kemulan sarung." kurang lebih, begitulah renungannya.

Dalam usianya yang hampir seratus tahun, kondisi psikologis Mbah Kung memang jauh lebih baik daripada fisiknya. Pikirannya jernih, hafalannya baik. Di sela-sela tidurnya, mbah Kung masih bisa membaca teks-teks religi. Saat itu, aku mengerti benar keresahan Mbah Kung. Beliau sudah tidak ingin hidup. "Aku wis ra pernah ndonga panjang umur Rif. Wis tak ganti dongane. Allahumma barik li fi umri." Doa populer yang biasa kita panjatkan, allahumma tawwil umri sudah beliau tinggalkan. Sejak ditinggal Mbak putri 1000-an hari yang lalu, mati itu seperti kekasih yang dirindukannya.

Kemarin sore, kekasih itu menjemputnya. Beliau sudah mudik. Abadi. Kita semua pasti menyusulnya. Jika sekarang kita sibuk mudik ke kampung halaman, kapan-kapan kita, seperti Mbah Kung, juga mudik ke tempat asal sejati kita. Mati.

Allahummaghfir lahu wa-rhamhu wa afihi wa'fu anhu.

1 Komentar

  1. kalau ada salinannya saya mau ikut baca catatan nya simbah

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama