Catatan Ramadhan (21): al-Masyaqqah

"Jika kalian sakit atau sedang bepergian, gantilah puasa kalian di hari yang lain." (Al-Baqarah: 258). Apakah saya perlu membatalkan puasa dalam perjalanan saya ke Bogor? ِ

Ayat itu hanyalah salah satu dari puluhan ayat dan hadits yang dalam studi Fiqih melahirkan sebuah kaidah populer: al-masyaqqah tajlib al-taysir (bila ada kesulitan dalam menjalankan kewajiban, ambillah gampangnya!). Kalau tidak bisa dilaksanakan sekarang ya besok, kalau tidak bisa besok, ya gantilah dengan sesuatu yang lebih mudah bagimu.

Karena sifatnya pilihan, maka agama memberi ruang yang longgar bagi kita untuk memilih. Allah menyukai kedua pilihan itu, innallaha yuhibbu an yu'khadza rukhasahu kama yuhibbu an yu'khadza azimatahu (Allah sama-sama menyukai apakah kalian memakai dispensasi-Nya atau melaksanakan hukum aslinya)

Saya sendiri lebih suka untuk tidak membatalkan puasa karena menurut saya al-masyaqqah  itu tidak ada dalam perjalanan jauh saya. Meskipun jarak Jogja-Bogor berkali lipat dari jarak Jogja-Puwodadi (koq Purwodadi? he he he, saya sedang membayangkan jalur Solo-Semarang yang berabad-abad rusak parah itu), saya tidak menemukan kesulitan apa pun. Saya hanya perlu naik motor (kurang dari 30 menit dari rumah), naik pesawat (50 menit, adem ber-AC), naik Damri (120 menit, adem ber-AC), dan tidur di Hotel (huiiiii dinginnnn) sampai menunggu Maghrib. 

Kayaknya malah lebih ribet kalau saya di rumah: ngurus pekerjaan di kampus sampai Jam 1 siang (wira-wiri naik turun tangga 1-3, menyeberang Jalan Timoho yang kendarannya pada ndak punya rem (ndak ada yang berhenti mengizinkan kita nyabrang kan?), njemput si bungsu di Warungboto, njemput kakak-kakanya di Wonokromo, dibakar matahari 7 lampu merah X 2 menit (wuah), sampai di rumah istri belum pulang karena ngurus pesantren Ramadhan di sekolahnya, sehingga harus ndulang si kecil makan siang (sambil teklak tekluk nahan kantuk, he he he). 

Ini perjalanan ke Bogor dimana susahnya coba? Untuk apa pula membatalkan puasa? Bagi saya, mengganti puasa di hari yang lain juga akan lebih susah lagi daripada puasa sekarang. Al-Masyaqqah justru muncul dalam puasa pengganti.

Ayat tersebut adalah contoh yang baik untuk menegaskan bahwa sebuah teks al-Qur'an tidak bisa berdiri dalam maknanya sendiri. Ia harus dibaca dalam konteks pesan umum al-Quran yang "tidak ingin menyulitkan manusia." Kata al-masyaqqah (kesulitan) tidak ada dalam redaksi ayat tersebut. Kata al-masyaqqah bahkan tidak ada dalam teks al-Qur'an secara keseluruhan. 

Konsep al-masyaqqah ditemukan para ulama lewat pemahaman yang mendalam terhadap berbagai dalil semisal berikut:

- منها قوله تعالى: {يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ} [البقرة: 185
وقوله تعالى: {وَلا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا} [البقرة: 286
 ومن السنة: إن الدين عند الله الحنيفية السمحة لا اليهودية ولا النصرانية
 وقال- صلى الله عليه وسلم: إن الدين يسر، ولن يُشادَّ الدين أحد إلا غلبه
 وقال فيما أخرجه الشيخان من حديث أبي هريرة وغيره: إنما بعثتم مُيسِّرين، ولم تُبعثوا معسرين
 وما روى البخاري عن أنس عن النبي- صلى الله عليه وسلم- قال: يسروا ولا تعسروا، وبشروا ولا تنفروا
 وقوله صلى الله عليه وسلم: من صلى بالناس فليخفف، فإنَّ فيهم المريض والضعيف وذا الحاجة

Oleh sebab itu, "kaidah" dalam membaca dan memahami kalimat ""Jika kalian sakit atau sedang bepergian, gantilah puasa kalian di hari yang lain." juga harus kita pakai dalam membaca seluruh dalil agama kita. Tidak ada sebuah teks pun yang berdiri sendiri dan punya makna tanpa bantuan teks yang lain.

Bogor, 31 Juli, 
catatan yang telat sehari karena tak berdaya
 melawan kantuk dalam selimut dingin kota ini.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama