Seminggu di Jogja

Sudah seminggu di Jogja. Semua yang lama kini terasa baru. Saat seorang teman bertanya bagaimana rasanya menghirup kembali udara Indonesia, saya hanya bisa terkagum, “Bagaimana mungkin bangsa ini bisa bertahan hidup dalam kesemerawutan semacam ini?”

Jalan-jalan kita sudah tidak ramah lagi terhadap penggunanya. Dan para pengguna jalan pun juga sudah tidak ramah dengan sesamanya. Dulu kita mungkin masih bisa dan boleh tertawa mendengar lelucon klasik ini:


“Kalau di Amerika, kita menggunakan jalur sebelah kanan; kalau di Inggris kita menggunakan jalur sebelah kiri. Nah kalau di Vietnam… We ride both sides!!!” Ya. Begitu pula di Indonesia sekarang. Bahu kiri dan kanan baru terbagi rapi hanya bila ada beton pemisah. At worse, Vietnam sekarang mungkin sudah lebih tertib daripada kita.

Udara Jogja pun tak terasa segar lagi. Ah, dua tahun yang lalu juga sudah begini… tetapi sekarang lebih parah rasanya. Semakin banyak mobil, semakin banyak sepeda motor, dan semakin berkurang angkutan ramah lingkungan (dokar).

Saya tidak tahu dan berharap, “bisakah kita berubah menjadi lebih baik? Bila ya, kapankah kita bisa berubah? Apakah kita harus menunggu sampai kita tak lagi bisa bergerak?”

Anda boleh bilang saya menulis ini karena saya sok ingin tertib dan maju seperti tempat saya tinggal. Tetapi, swear, saya mengeluhkannya justru karena saya mencintai Indonesia, mencintai Jogja.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama