Drama Kehilangan Tas di Changi Airport


Sekian kali pergi ke luar negeri sendirian, saya belum pernah mengalami "kehilangan" tas dengan alasan apa pun (alhamdulillah). Tetapi, dua kali pergi bersama istri, dua kali itu pula saya "kehilangan" tas dan koper. Pertama, saat umroh awal tahun 2023 lalu; dan kedua saat pulang dari Malaysia kemarin. Drama seperti ini mungkin memang perlu kita alami agar hidup itu tidak datar-datar saja. Ya nggak?

Pas umroh dulu, koper saya hilang selama tiga hari. Bayangkan, koper itu isinya adalah semua pakaian yang saya siapkan untuk umroh dua minggu. Begitu tiba di Madinah, koper itu lenyap entah ke mana. Pihak travel nggak bertanggungjawab, sementara kita tak berdaya sama sekali. Beda dengan pergi sendiri, semua urusan koper kita itu kan mereka tangani sejak kita tiba di Cengkareng. Apakah koper itu ikut terbang ke Saudi atau nggak pun kita tak tahu. Jadi, ketika kita tidak bisa menemukannya di Madinah, kita juga nggak tahu nyarinya di mana. Plus, barcode check-in baggage juga tidak kita pegang.

Koper itu akhirnya ditemukan secara tidak sengaja oleh jamaah umroh yang senasib. Ia juga kehilangan kopernya seperti saya. Ketika ia mendapatkan informasi secara acak dari orang yang baru ia kenal bahwa ada koper "terdampar" di sebuah hotel dengan ciri-ciri yang ia ceritakan, ia cek koper itu dan menemukannya. Ketika melihat ada koper lain yang juga "terdampar," ia hubungi nomor telpon di koper yang saya tulis besar-besar itu. Alhamdulillah, setelah tiga hari hanya bisa ganti dengan satu helai baju yang ada di tas ransel saya, koper pun ditemukan. Satu-satunya faktor yang membuat koper itu kembali adalah keberuntungan!

***

Hilangnya tas di Changi kemarin juga nggak kalah seru. Seperti saya ceritakan, kami memang sudah bertekad untuk "menginap" di bandara. Saya sudah baca tulisan para travel blogger tentang kemungkinan tidur di Changi Airport. Meyakini Singapura sebagai tempat yang aman, kami pun percaya diri untuk tidur di bandara menunggu keberangkatan pesawat pada esok paginya.

Selesai tur kota dan Jewel, kami ambil mengambil tas koper di Terminal 3, lalu kami kembali ke Terminal 1 menggunakan skytrain. Tepat di depan halte skytrain di batas terminal 1 dan 3, kami berhenti di situ. Sebab, mau ke gate keberangkatan juga belum tahu gate berapa. Tertulis di layar, gate baru akan diumumkan besok jam 3:40. 

Di area itu, kebetulan juga terdapat kursi sofa empuk, ditaruh melingkari pohon dan taman kecil berdiameter 2 M. Awalnya sepi, tetapi setelah kami berada di situ beberapa saat kemudian menjadi penuh dengan orang-orang yang seperti kami menginap di bandara untuk penerbangan dini hari. Saya awalnya mengincar sebuah celah selebah satu meter di antara tiang beton dan tembok untuk saya gunakan tidur. Tetapi sebelum ngantuk tiba, tempat itu sudah diambil oleh sekeluarga Jerman dengan dua anak kecil berumur 4 dan 6 tahunan.

Menjelang jam 11, saya menata diri. Tidur di sofa dengan kaki berselonjor di atas koper yang saya taruh di troli. Jadi, selain untuk menjaganya, juga untuk ektensi ruang tidur. Saya lihat dua anak saya belum tidur, Mereka malah pergi ke deretan kursi yang ada charger-nya. Mencegah agar sofa mereka tidak diambil orang, saya taruh tas jinjing berisi baju kotor dan ransel di dua kursi mereka. Saya bilang ke istri, "iki wae, sing ora aji dinggo kene."

Sekitar pukul 23:20, saya yang sudah mulai tertidur terbangun oleh suara tiga perempuan dari Vietnam yang duduk di sofa sebelah saya. Suaranya kencang sekali. Asem tenan, koyo neng ngomah ae le ngobrol. Saat terbangun ini, saya sempat lihat dua sofa yang saya "amankan" dengan tas dan ransel itu dipakai orang. Sepasang bule tua duduk di dua sofa itu. Tas dan ransel mereka turunkan di lantai. Saya tidak bisa menegur, berprasangka baik, dan berusaha melanjutkan tidur: dua tas itu akan aman-aman saja.

***

Saya ternyata bisa tidur nyenyak sekali. Perkiraan saya, jam 23:30 pasti saya sudah tidur dan baru terbangun sekitar jam 1:30 ketika saya mendengar "keributan" istri dan anak saya bahwa tas jinjing yang berisi pakaian dan saya gunakan sebagai penanda di sofa itu hilang. Anak saya yang kembali dari nge-charge HP tidak menyadari dan tidak melihat ada orang yang mengambil. Kami segera memeriksa area sekitar yang malam itu sudah sepi. Tidak ketemu.

Ketika masalah ini saya ceritakan ke pegawai cleaning di WC dekat kami istiarahat, ia tampak responsif dan meyakinkan saya untuk tenang. Perempuan Melayu setengah baya berjilbab itu bilang, "Ada banyak CCTV di sini, saya cuba lapor ke bos saya agar dibantu." Saya dimintanya menunggu di tempat kami istrihat.

Hanya saja, lima belas menit berlalu dan tidak ada tanda-tanda ada orang yang akan membantu kami. Maka, saya putuskan untuk melakukan upaya lain: mencari petugas keamanan. Ketika bertemu salah satu dari mereka, saya hanya disarankan untuk lapor ke bagian informasi. Tempatnya lumayan jauh. 

Oleh petugas informasi, saya diminta mengidentifikasi warna dan jenis tas, kapan hilang, dan di mana. Ia coba mencari jawaban dengan mengecek daftar lost and found. Gagal! Oleh sebab itu, lalu saya diminta membuat laporan resmi dengan mengisi sebuah form online. Sudah, itu saja. Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan. Saya akan dihubungi kalau barang ditemukan. Jam menunjukkan pukul 02:00 dan saya kembali ke area istirahat kami di dekat "halte" skytrain.

***

Sekembali dari pelaporan, saya tak habis merenung juga. Saya seperti diingatkan untuk hati-hati kalau ngomong. Waktu saya bilang, bahwa tas itu "tidak berharga" dan bisa ditaruh untuk penanda kursi, mungkin didengar malaikat yang lewat. "Bener nih, nggak berharga?" Dan terjadilah apa yang terjadi. Tentu saja itu barang berharga bagi kami. Dua jilbab istri saya saja sudah bernilai ratusan ribu. Belum baju dan celana lainnya. Barang itu saya sebut "tidak berharga" bagi maling, sebenarnya. Bagi kami tentu berharga sekali.

Dalam kondisi tak berdaya seperti itu, senjata utama saya adalah salawat nariyah. Sambil berharap ada keajaiban, saya ucapkan sepenuh hati kalimat tanhallu bihil 'uqadu wa tanfariju bihil kurabu. Kalau pun ada orang niat mencuri, saya harap tas itu segera ia tinggalkan di mana saja di bandara setelah ia sadar isinya cuma "gombal dan baju dalam."

***

Merenung, baca salawat, dan terkantuk-kantuk di sofa, tiba ada serombongan polisi bandara (mungkin lebih dari 10 orang) sedang patroli. Waktu menunjukkan hampir jam 03:00. Mereka membangunkan setiap orang yang tidur di area itu dan meminta paspor masing-masing. Kepada polisi yang mengecek paspor, saya justru melaporkan kehilangan tas itu. Saya sampaikan kronologinya, dan saya sampaikan bahwa saya sudah membuat laporan resmi.  

Awalnya, ia meminta saya untuk menunggu saja. Laporan saya akan direspon. Kalau barang ketemu akan dihubungi. Tetapi saya bilang begini, "Penerbangan saya masih jam 7, kalau barang itu bisa saya temukan sekarang kan lebih baik. Urusan nggak akan panjang lebar. Tolong deh, itu kan ada CCTV (samabil saya tunjuk CCTV di dekat kami tidur), bisa nggak tolong dicekkan?" 

Ia tampak serius mendengarkan usulan saya ini. Petugas beretnis China dan tak cakap Melayu ini lalu menelpon seseorang. Ia sepertinya bertanya kepada orang itu tentang sesuatu dan memintanya untuk mengecek. Setelah itu, ia seperti mengetes saya, warna tasnya apa? isinya apa? ada uangnya atau tidak? Ditaruh di mana sewaktu hilang? Pokoknya detail sekali. Seetelah saya jawab semua pertanyaan, ia tunjukkan foto tas saya.

Singkat cerita. Tas itu tidak dicuri orang. Tas itu "ditemukan" oleh petugas dan dianggap sebagai "unattended." Salahnya si petugas yang mengamankan tas itu, dan saya curi dengar ini dari percakapan telepon mereka, ia tidak bertanya ke sekitar. "Did you ask the people around?" si komandan bertanya. Ia jawab, "Sorry, I forgot!" Si komandan marah-marah tuh atas kecerobohan si polisi. 

Alhamdulilah, tas dapat ditemukan dan kami punya waktu yang cukup untuk melanjutkan perjalanan dengan tenang.    


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama