5 Hal Menarik dari Kasus Florence Sihombing

Kasus Florence Sihombing itu kalau mau dianggap sepele, ya sepele. Wong cuma kasus cewek lebay ngomel-ngomel di akun sosmed. She is no one! Kalau mau dianggap besar ya besar. Atau kalau mau dibesar-besarkan ya bisa juga besar. Tetapi saya ingin membiarkan kasus itu tetap kecil dan memperbesar adalah sudut pandangnya.

1. Budaya Antri

Pernah baca quote seorang guru SD di Australia yang mengatakan bahwa ia "lebih sedih melihat muridnya tidak bisa antri daripada tidak bisa matematika"? Pesan kisah itu kuat: matematika itu soal pengetahuan, dan antri itu soal prilaku. pengetahuan bisa ditransfer dengan cepat, bisa dalam hitungan menit. Tetapi membentuk prilaku butuh waktu dan pembiasaan. Matematika bisa diselesaikan lewat pengajaran di sekolah, tetapi prilaku harus dibentuk lewat budaya bersama.

Sayangnya, kita tidak punya budaya antri. Florence yang tidak mau antri itu mewakili masyarakatnya: yang tidak mau berhenti saat lampu merah, yang meluber keluar garis marka saat menunggu lampu hijau, yang menggunakan trotoar untuk sepeda motor, yang menerobos lewat bahu jalan saat mobil lain berderet panjang menunggu.

Florence yang marah-marah di sosmed itu hanya salah satu dari Florence lain yang ada di masyarakat kita.

2. Makna Miskin



Miskin itu pilihan hidup yang ditempuh orang bodoh dan karena itu, "Salah sendiri lu miskin dan bodoh!" Anda tidak setuju? Saya juga tidak. Tetapi di luar sana, seperti tercermin dalam umpatan Florence, ada sekelompok orang di masyarakat kita yang meyakini miskin itu sebagai akibat dari ulah orang itu sendiri. Karenanya, miskin itu bisa dijadikan bahan umpatan, dan karena itu pula tidak perlu simpati kepada mereka.


3. Nasionalisme Jogja

Saya kira, hanya kebetulan saja Florence itu batak. Jadi, kita sesungguhnya tidak perlu tersinggung dan membawa-bawa 'kebatakan' Florence untuk merasa diri kita paling Jogja, yang punya Jogja, atau sentimen etnis semisalnya. Orang Batak banyak yang baik, sebagaimana orang Jogja juga tidak sedikit yang brengsek. Kebaikan dan kebrengsekan itu tidak berhubungan dengan etnis. Kalau kita merasa kita di kubu orang baik karena kejogjaan kita, maka kita tidak lebih baik dari Florence :)

4. Etika Sosial Media

Etika itu berlaku lebih rumit di media sosial karena dalam etika bermasyarakat ada batas-batas fisik yang ikut mengendalikan prilaku kita. Kalau secara fisik kita di kampus, kita menyopankan diri. kalau secara fisik di masjid, kita jaga prilaku kita. Kalau secara fisik kita di dpean orang tua, kita jaga kesopanan kita.

Media sosial tidak punya kendali fisik seperti itu. Imaji penulis tentang audiensnya berbeda dengan audiens riil yang akhirnya terjangkau oleh teks yang diciptakannya. Kalau kita lihat, Florence itu mengumpati Jogja karena konteks fisiknya yang sedang kesal, sendirian, pulang dari SPBU, habis disorakin orang-orang. Dalam imajinya, ia tidak sedang berhadapan dengan auidens masyarakat Jogja.

Paling jauh, ya ia mengumpat karena ia merasa, menurut imajinya, sedang curhat dengan teman-temannya yang di Jakarta dan Bandung. Makanya yang ia himbau adalah mereka. Bahwa teks yang ia pos kemudian terbaca orang Jogja, it's beyond her imagination!

Jadi, betul kata orang, media sosial itu memang bukan tempat curhat ... semestinya.

5. Hei, Kamera ada di Mana-mana!

Bukan cuma satu, dua kamera merekam Anda!
Hal yang tidak kalah menariknya dalam kasus ini adalah, bahwa peristiwa kecil, di sebuah SPBU yang tidak istimewa, bisa terekam dalam kamera dengan baik, at the right place, on the right moment! Jadi seperti reality show. Ini jadi peringatan juga bahwa jangan berprilaku sembarangan di mana pun Anda berada. Karena mata kamera ada di mana-mana!

[update]

6. Kasus Sepele begini ditangani Polisi

Mereka yang menuntut, tentu saja orang gila. Wong dikiritik begitu saja koq marah. Lebih gila lagi polisisnya. kasus-kasus besar tidak diurus. Ini hanya soal ocehan saja ikut ribut. Duh! Malu sebagai warga Bantul (yang bagian dari Jogja itu).

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama